Probolinggo – Ada hal yang unik kala Masyarakat Tengger menggelar peringatan Hari Raya Karo Tahun Saka 1940. Mereka menggelar tradisi Sodoran untuk merayakan hari sakral tersebut. Puluhan warga suku yang tinggal di lereng gunung Bromo ini pun hadir dalam acara penting itu.
Tradisi sodoran merupakan kisah tentang proses terciptanya manusia, yaitu dari perkawinan antara laki-laki dan wanita. Dalam tradisi tahunan ini, iring-iringan mempelai pria diarak dari Desa Jetak menuju Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura di mana peringatan Hari Raya Karo berlangsung.
Hal serupa juga dilakukan mempelai wanita yang diarak dari Desa Wonotoro menuju Balai Desa Ngadisari. Dalam arak-arakan itu, kedua mempelai diiringi musik gamelan.
Iring-iringan ini juga membawa sejumlah pusaka Suku Tengger, atau biasa disebut jimat Klontong yang berusia ratusan tahun.
Setelah bertemu di depan Balai Desa Ngadisari, keduanya kemudian diantar menuju kursi pelaminan. Di Balai Desa, warga telah menunggu kedua mempelai lengkap dengan berbagai macam sesajian.
Begitu duduk di pelaminan, kedua mempelai mengikuti upacara penyucian pusaka Suku Tengger berupa Gayuh, Tanduk Banteng dan Tombak Sodor. Penyucian dilakukan oleh sesepuh Suku Tengger yang juga berperan sebagai tokoh yang mengawal dibacakannya mantra.
Puncaknya adalah tarian dari rombongan yang dibawa kedua mempelai. Tarian ini menggambarkan penciptaan benih bopo atau laki-laki dan babu atau perempuan oleh Sang Hyang Widi di jagat raya.
Tokoh warga Suku Tengger, Supoyo mengungkapkan, Tradisi Sodoran sudah ada semenjak tahun 1790. Sejak saat itu, tradisi ini selalu digelar.
“Harapannya, melalui tradisi ini kita diselamatkan dari mara bahaya,” terang Supoyo, Selasa (28/8/2018).
Hal senada disampaikan Yulius Christian, selaku Camat Sukapura. Tradisi Sodoran saat peringatan Hari Raya Karo telah menjadi jiwa bagi warga Suku Tengger sehingga harus dilaksanakan setiap tahun.
“Ini sudah menjadi tradisi rutin warga Suku Tengger dan berlangsung turun temurun. Dalam tradisi ini, warga pun kompak memberikan sesajinya,” ungkap Yulius.
Seusai tradisi selesai dilakukan, kaum perempuan Suku Tengger kemudian masuk ke areal Sodoran sembari membawa makanan untuk suami-suami mereka. Bagi warga Suku Tengger, tradisi ini menjadi simbol keharmonisan, antara bopo dan babu, atau laki-laki dan perempuan yang berpasangan. [mm]