Anies Langgar Inpres Habibie Tapi Tidak Mendapatkan Dampak Hukum

Jakarta,Jatimpost.com – Anies Baswedan telah resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta pada senin (16/10/17). Dia berpidato pertama kalinya di hadapan warga Ibu Kota usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Dalam pidatonya Anies menyebut kata Pribumi  dan non pribumi, penyebutan istilah itu dinilai akan berdampak kepada perpecahan sosial dan politik. Meski penyebutan istilah itu tidak mendapatkan dampak hukum, Anies selaku pejabat publik semestinya lebih memahami perkembangan zaman.

“Secara hukum tidak ada masalah, karena tidak ada sanksi. Tapi secara sosial itu disayangkan. Kurang update aja dia. Apa manfaatnya coba?” cetus Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf, Selasa (17/10).

Asep menanggapi penyebutan istilah pribumi yang disampaikan Anies saat berpidato untuk pertama kalinya sebagai Gubernur DKI di Balai Kota DKI Jakarta kemarin. Anies dalam pidatonya berjanji akan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Jakarta.

“Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, saatnya menjadi tuan rumah di  negeri sendiri,” kata Anies.

Penyebutan istilah Primbumi telah dilarang lewa Intruksi President (Inpres) No. 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie.

Pada salah satu poinnya, Inpres itu memerintahkan kepada Menteri, pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur, Bupati/Walikota untuk, “Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.”

Asep menjelaskan, Inpres itu sendiri tidak mencantumkan sanksi jika ada pelanggaran dilakukan. Aturan itu hanya meminta para pejabat tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non pribumi dalam acara resmi ataupun tidak resmi serta dalam dokumen-dokumen.

“Kenapa pribumi, non pribumi tidak digunakan? Karena secara sosial akan berbeda perlakuan dan kedudukan kemasyarakatan dan pemerintahannya. Dalam UUD 45 kan semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan,” terangnya.

Disamping itu, Asep menambahkan penyebutan istilah pribumi dan non pribumi sdah tidak lagi relevan dengan keadaan rill di masyarakat. Sebab, istilah pribumi dan non pribumi mencerminkan pemisahan sosial di zaman kolonial. Misalnya, Eropa, Timur Asing (Cina), Bumiputra, Arab, India. [awh]